Komisaris Bongkar Dugaan Manipulasi Laporan Keuangan
PT Kereta Api
Komisaris PT Kereta Api mengungkapkan
adanya manipulasi laporan keuangan BUMN tersebut di mana seharusnya perusahaan
merugi namun dilaporkan memperoleh keuntungan. "Saya tahu bahwa ada
sejumlah pos yang sebetulnya harus dinyatakan sebagai beban bagi perusahaan
tetapi malah dinyatakan masih sebagai aset perusahaan. Jadi ada trik
akuntansi," kata salah satu Komisaris PT Kereta Api, Hekinus Manao di
Jakarta, Rabu. Ia menyebutkan, hingga kini dirinya tidak mau menandatangani
laporan keuangan itu karena adanya ketidakbenaran dalam laporan keuangan BUMN
perhubungan itu. "Saya tahu laporan yang diperiksa oleh akuntan publik itu
tidak benar karena saya sedikit banyak mengerti akuntansi, yang mestinya rugi
dibuat laba," kata penyandang Master of Accountancy, Case Western Reserve
University, Cleveland, Ohio USA tahun 1990. Akibat tidak ada tanda tangan dari
satu komisaris, rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Kereta Api yang seharusnya
dilaksanakan sekitar awal Juli 2006 ini juga harus dipending. "Yang jelas
RUPS dari PT Kereta Api sampai hari ini distop karena saya tidak mau tanda
tangan. Harusnya awal Juli 2006, cuma ditunda karena saya sebagai komisaris
tidak menyetujui laporan kantor akuntan publik," kata penyandang Doctor of
Business Administration Cleveland State University Ohio USA 1995. Ia
mengatakan, dirinya meminta agar laporan itu dikoreksi, dan koreksi akan BUMN
itu tidak untung tetapi rugi. "Ini praktek-praktek akuntansi sebetulnya
yang mengerti orang akuntansi dan auditornya membiarkan begitu saja," kata
Hekinus yang juga Direktur dan Akuntansi Ditjen Perbendaharaan Departemen
Keuangan. Mengenai berapa angka kerugiannya, Hekinus mengatakan, tidak bisa
memastikan, yang jelas ada sejumlah pos yang sebetulnya harus dinyatakan
sebagai beban tapi masih dinyatakan sebagai aset perusahaan. Ia menyebutkan,
setelah sekitar lima tahun bertugas sebagai eselon II di Depkeu, dirinya baru
mendapat kesempatan untuk menjadi komisaris di BUMN. "Selama sekitar enam
bulan jadi komisaris, saya merasa sedih, bukan saja karena di jaman saya ada
kereta berjalan mundur, tapi juga karena pelaksanaan fungsi komisaris sangat
menyedihkan, saya jadi barang aneh di sana," katanya. Kepada direksi BUMN
itu, ia meminta agar segera memperbaiki laporan keuangan itu dan juga untuk
kebaikan BUMN itu di masa yang akan datang. "Saya bongkar masalah ini
supaya jajaran direksi memperbaikinya karena tidak hanya direksi yang punya
BUMN itu tetapi juga lainnya, sementara saya mungkin cuma sebentar dan besok
mungkin keluar," katanya. Sementara itu Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) Anwar Nasution mengatakan, hingga saat ini audit BPK sama sekali belum
menyentuh PT Kereta Api karena kemampuan anggaran dan personil yang terbatas.
Menurut Anwar, BPK dapat melakukan audit terhadap BUMN baru-baru ini saja itu
pun tidak menyeluruh karena kemampuan yang terbatas. "BPK bisa melakukan
audit terhadap BUMN baru-baru ini saja, dulu mana boleh BPK melakukan audit
terhadap BUMN. Dulu tidak boleh masuk ke Pertamina, bank-bank pemerintah, Bank
Indonesia dan lainnya," katanya.
ANALISIS
Kasus ini juga berkaitan dengan
masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi, akuntan internal di PT. KAI
belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika akuntan. Kedelapan prinsip akuntan
tersebut yaitu:
1. Tanggung jawab profesi, dimana
seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua
kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab
karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki
kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan
dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
2. Kepentingan Publik, dimana akuntan
harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan
perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan
PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja
memanupulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita
kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami
keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena,
apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI
bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.
3. Integritas, dimana akuntan
harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT.
KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi
laporan keuangan.
4. Objektifitas, dimana akuntan
harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun.
Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah
memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu
yang berada di PT. KAI.
5. Kompetensi dan kehati-hatian
professional, akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya
dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada
tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan
kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang
mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun laporan keuangan
mengalami keuntungan.
6. Kerahasiaan, akuntan harus
menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa
profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa
persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya. Dalam kasusun ini akuntan sudah menerapkan prinsip kerahasiaan
karena hanya melaporkan laporan yang dapat dipublikasikan saja.
7. Perilaku profesional, akuntan sebagai
seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku
profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melaporkan laporan keuangan, dan
hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
8. Standar teknis, akuntan dalam menjalankan
tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar
profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati,
akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa
selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas.
Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak
malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat
menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak
ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi
keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
SOLUSI
Ø Akuntan Internal PT Kereta Api
Indonesia seharusnya melaporkan laporan keuangan sesuai dengan keadaan dari
posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
Ø Sebaiknya Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) melakukan audit secara berkala terhadap seluruh BUMN termasuk PT Kereta
Api Indonesia.
Ø Pemerintah memberikan kemampuan
anggaran dan personil untuk mensupport tugas BPK dalam mengaudit BUMN yang ada
di Indonesia.
Ø Dilakukan perbaikan manajeman oleh jajaran
direksi PT Kereta Api Indonesia salah satunya dengan untuk membangun budaya
pengawasan yang lebih ketat dalam perusahaan melalui proses internalisasi,
sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan
individu dalam organisasi.
Ø Seharusnya Komite Audit tidak
berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan
Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada
Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun
Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan
pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan
perusahaan.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar